Corporate Social Responsibility (CSR)

Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) 

Berbagai macam faktor yang menjadi penyebab mengapa tanggung jawab sosial menjadi begitu penting dalam lingkup organisasi, diantaranya adalah (Sulistyaningtyas, 2006):

  1. Adanya arus globalisasi, yang memberikan gambaran tentang hilangnya garis pembatas diantara berbagai wilayah di dunia sehingga menhadirkan universalitas. Dengan demikian menjadi sangat mungkin perusahaan multinasional dapat berkembang dimana saja sebagai mata rantai globalisasi;
  2. Konsumen dan investor sebagai publik primer organisasi profit membutuhkan gambaran mengenai tanggung jawab organisasi terhadap isu sosial dan lingkungannya;
  3. Sebagai bagian dalam etika berorganisasi, maka dibutuhkan tanggung jawab organisasi untuk dapat mengelola organisasi dengan baik (lebih layak dikenal dengan good corporate governance);
  4. Masyarakat pada beberapa negara menganggap bahwa organisasi sudah memenuhi standard etika berorganisasi, ketika organisasi tersebut peduli pada lingkungan dan masalah social;
  5. Tanggung jawab sosial setidaknya dapat mereduksi krisis yang berpotensi terjadi pada organisasi;
  6. Tanggung jawab sosial dianggap dapat meningkatkan reputasi organisasi

CSR bukan saja upaya menunjukkan kepedulian sebuah organiasasi pada persoalan sosial dan lingkungan, namun juga dapat menjadi pendukung terwujudnya pembangunan yang berkesinambungan dengan menyeimbangan aspek ekonomi dan pembangunan sosial yang didukung dengan perlindungan lingkungan hidup. Dalam rangka merespon perubahan dan menciptakan hubungan kepercayaan, maka upaya yang kini dilaksanakan oleh organisasi (khususnya organisasi bisnis) adalah merancang dan mengembangkan serangkaian program yang mengarah pada bentuk tanggung jawab sosial.

Program ini menjadi parameter kepedulian organisasi dengan mengembangkan sayap sosial kepada publik. Kepedulian dan pengembangan sayap ini bukan dalam kerangka membagi-bagi “harta” sehingga dapat menyenangkan banyak pihak, tetapi lebih pada bagaimana memberdayakan masyarakat, agar bersama-sama dengan organisasi dapat peduli terhadap ranah sosial. Dalam praktenya, perusahaan tidak hanya memfokuskan pada pemberian bantuan secara

PERUSAHAAN YANG MENYELENGGARAKAN CSR

financial. Sangat banyak data yang mencatat usaha perusahaan yang berkontribusi dalam pembangunan fisik maupun sosial melalui program CSR nya, berikut diantaranya (Rahmat, 2009):

1. PT Freeport Indonesia, mengklaim telah menyediakan layanan medis bagi masyarakat Papua melalui klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit modern di Banti dan Timika. Di bidang pendidikan, PT Freeport menyediakan bantuan dana pendidikan untuk pelajar Papua, dan bekerjasama dengan pihak pemerintah Mimika melakukan peremajaan gedung-gedung dan sarana sekolah. Selain itu, perusahaan ini juga melakukan program pengembangan wirausaha seperti di Komoro dan Timika;

2. Pertamina, terlibat dalam aktivitas pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Pada aspek pendidikan BUMN ini menyediakan beasiswa pelajar mulai dari tingkatan sekolah dasar hingga S2, maupun program pembangunan rumah baca, bantuan peralatan atau fasilitas belajar. Sementara di bidang kesehatan Pertamina menyelanggarakan program pembinaan posyandu, peningkatan gizi anak dan ibu, pembuatan buku panduan untuk ibu hamil dan menyusui dan berbagai pelatihan guna menunjang kesehatan masyarakat. Sedangkan yang terkait dengan persoalan lingkungan, Pertamina melakukan program kali bersih dan penghijauan seperti pada DAS Ciliwung dan konservasi hutan di Sangatta;

3. PT HM Sampoerna, salah satu perusahaan rokok besar di negeri ini juga menyediakan beasiswa bagi pelajar SD, SMP, SMA maupun mahasiswa. Selain kepada anak-anak pekerja PT HM Sampoerna, beasiswa tersebut juga diberikan kepada masyarakat umum. Selain itu,melalui program bimbingan anak Sampoerna, perusahaan ini terlibat sebagai sponsor kegiatan-kegiatan konservasi dan pendidikan lingkungan;

4. PT Coca Cola Bottling Indonesia, melalui Coca Cola Foundation – didirikan pada Agustus 2000 – melakukan serangkaian aktivitas yang terfokus pada bidang-bidang: pendidikan, lingkungan, bantuan infrastruktur masyarakat, kebudayaan, kepemudaan, kesehatan, pengembangan UKM, juga pemberian bantuan bagi korban bencana alam;

5. PT Bank Central Asia, Tbk berkolaborasi dengan PT Microsoft Indonesia menyelenggarakan pelatihan IT bagi para guru SMP dan SMA negeri di Tanggamus, Lampung. Pelatihan ini sebagai pelengkap dari pemberian bantuan pendirian laboratorium komputer untuk beberapa SMP dan SMA di Gading Rejo, Tanggamus yang merupakan bagian dari kegiatan dalam program Bakti BCA;

6. Nokia Mobile Phone Indonesia, telah memulai program pengembangan masyarakat yang terfokus pada lingkungan dan pendidikan anak-anak perihal konservasi alam. Perusahaan ini berupaya meningkatkan kesadaran sekaligus melibatkan kaum muda dalam proyek perlindungan orangutan, salah satu fauna asli Indonesia yang dewasa ini terancam punah;

7. PT Timah, dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sosialnya menyebutkan bahwa ia telah menyelenggarakan program-program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Perusahaan ini menyatakan bahwa banyak dari program tersebut yang terbilang sukses dalam menjawab aspirasi masyarakat diantaranya berupa pembiakan ikan air tawar, budidaya rumput laut dan pendampingan bagi produsen garmen;

8. Astra Group, melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra menyebutkan bahwa mereka telah melakukan program pemberdayaan UKM melalui peningkatan kompetensi dan kapasitas produsen. Termasuk di dalam program ini adalah pelatihan manajemen, studi banding, magang, dan bantuan teknis. Di luar itu, grup Astra juga mendirikan yayasan Toyota dan Astra yang memberikan bantuan pendidikan. Yayasan ini kemudian mengembangkan beberapa program seperti: pemberian beasiswa, dana riset, mensponsori kegiatan ilmiah universitas, penerjemahan dan donasi buku-buku teknik, program magang dan pelatihan kewirausahaan di bidang otomotif;

9. Unilever, Program Sekolah Pepsodent Kampanye yang berkelanjutan ke sekolah-sekolah dasar dalam memahami pentingnya kesehatan mulut, serta menankam pengertian pada anak-anak mengenai pentingnya mengunjungi dokter gigi secara teratur. Dalam pelestarian lingkungan hidup Unilever membuat program pelestarian sumber air di Kali Brantas. Tujuannya yaitu untuk mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat di sepanjang Sungai Brantas dalam menyikapi sungai.

Argumentasi Pro Dan Kontra Terhadap CSR
Dalam menyikapi CSR, terdapat pendapat yang setuju dan juga yang menolaknya. Argumentasi yang mendukung menyatakan bahwa CSR diperlukan untuk hal-hal sebagai berikut (Anne, 2005):

  1. Menyeimbangkan antara kekuatan korporasi dengan aspek tanggungjawab;
  2. Mengurangi adanya regulasi pemerintah (yang berlebihan);
  3. Meningkatkan keuntungan jangka panjang;
  4. Meningkatkan nilai dan reputasi korporasi;
  5. Memperbaiki permasalahan sosial yang disebabkan oleh perusahaan.

Kemudian (Kotler & Nance, 2005) menambahkan dengan menekankan pada aspek bisnis yaitu CSR dapat:

  1. Meningkatkan penjualan dan pangsa pasar;
  2. Memperkuat posisi merek dagang;
  3. Meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi dan memelihara karyawan;
  4. Menurunkan biaya operasi;
  5. Menarik minat investor dan para analis keuangan.

Sedangkan argumentasi yang menentang menyatakan bahwa pada dasarnya CSR hanya (Anne, 2005):

  1. Menurunkan efisiensi ekonomi dan keuntungan usaha;
  2. Membuat biaya perusahaan lebih tinggi dibandingkan kompetitornya;
  3. Menimbulkan biaya tersembunyi yang secara tidak langsung akan dibebankan kepada stakeholder;
  4. Mensyaratkan tambahan kemampuan sosial yang sebenarnya tidak dimiliki oleh perusahaan; dan
  5. Membebankan tanggungjawab kepada perusahaan yang seharusnya dibebankan kepada individu

Pendekatan Terhadap Penerapan CSR: Voluntary Vs. Mandatory
Gerakan CSR di Negara-negara maju, terutama Amerika Serikat memang lebih banyak didorong oleh kesadaran secara sukarela (voluntary driven) (Kotler & Nance, 2005). Kotler menitikberatkan pada elemen kunci discretionary, artinya bahwa korporasi melakukan aktivitas CSR bukan karena dimandatkan oleh UU atau bahkan oleh dasar moral atau etik, tetapi lebih merupakan komitmen sukarela yang dilakukan oleh korporasi dalam memilih dan mengimplementasikan praktik-praktik CSR. Komisi Eropa dalam dalam green paper juga mengadopsi penerapan CSR secara sukarela melalui best practices. Namun tidak berarti bahwa hukum atau regulasi sama sekali tidak berguna dalam pengimplemetasian penegakan prinsip-prinsip CSR. Sebaliknya hukum atau regulasi sangat penting untuk menciptakan standar minimum yang harus dipenuhi oleh korporasi berkaitan dengan pelaksanaan CSR. Fungsi kebijakan CSR oleh korporasi adalah sebagai suplemen terhadap regulasi yang ada, sehingga korporasi seharusnya menerapkan prinsip-prinsip yang lebih tinggi dari apa yang diatur oleh regulasi. Dengan adanya regulasi di bidang CSR akan memberikan level playing field yang sama kepada semua korporasi, sehingga semua korporasi dapat bersaing secara wajar dan beriktikad baik dalam pengimplementasian CSR tanpa khawatir kehilangan competitive advantage nya terhadap kompetitornya.rasi sebagaimana telah diutarakan oleh (Kotler & Nance, 2005).

Disini reputasi dapat menjadi eksternalitas positif. Namun tidak semua korporasi dikenal oleh masyarakat, tidak memiliki kapabilitas, dan bukan kepentingannya untuk meningkatkan reputasi. Dalam hal ini hanya perusahaan-perusahaan besar saja seperti perusahaan multinasional dan perusahaan yang terdaftar di bursa yang memiliki kepentingan akan reputasi organisasinya.

Banyak perusahaan skala menengah yang mengeksploitasi sumber daya alam, seperti perusahaan-perusahaan batubara di Kalimantan yang secara strategi bisnis tidak akan terlalu berkepentingan mengenai reputasi. Apabila yang digunakan pendekatan sukarela, maka perusahaan-perusahaan semacam itu tentu tidak akan mengadopsi prinsip-prinsip CSR ke dalam strategi bisnisnya, sedangkan mereka telah menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam, yang seharusnya menjadi milik bersama manusia untuk kepentingan mereka sendiri dalam bentuk keuntungan besar yang diperoleh. Oleh karenanya pendekatan mandatory¸ yaitu adanya pengaturan oleh perundang-undangan diperlukan terutama bagi suatu masyarakat, baik dari sisi pelaku usaha dan konsumen yang masih memiliki tingkat kesadaran sosial dan lingkungan yang rendah seperti Indonesia. Argumentasi lain bahwa kalau yang digunakan pendekatan sukarela (voluntary), maka peningkatan kepatuhan terhadap norma-norma kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia tidak akan maksimal apabila yang bekerja adalah economic rationality (Kasahun, 2005).

Bagi korporasi penerapan CSR akan dilakukan sepanjang memberikan benefit kepada perusahaan. Salah satunya adalah meningkatkan reputasi perusahaan.

Aktivitas CSR dan Pembentukan Reputasi Organisasi
Bentuk-bentuk tanggungjawab sosial yang ideal tentunya bukan hanya muncul semata-mata untuk mencari nama baik sehingga bisa membangun reputasi, namun justru sudah muncul sejak sebuah organisasi berdiri. Sehingga turut pula tertuang dalam visi, misi dan tujuan organisasi. Sehingga pada akhirnya aktivitas tanggung jawab sosial adalah bagian integral dari manajemen stratejik. Dengan turut ambil bagian dalam isu sosial, maka organisasi menunjukkan cerminan dari realitas organisasi yang peduli terhadap fenomena sosial. Sebuah organisasi dalam menjalankan aktivitas tanggungjawab sosial, sudah pasti akan melibatkan publiknya. Dengan demikian harmonisasi dari sebuah hubungan yang dibina oleh organisasi memperoleh wujud nyata yang akan memberikan manfaat bukan hanya bagi nama baik organiasi namun juga kepada masyarakat secara luas. Keberhasilan organisasi dalam menjalankan tanggung jawab sosial akan memberikan efek “domino” bagi organisasi lain, artinya ada pengaruh yang positif yang akan dipetik oleh organisasi lain untuk melakukan hal yang sama. Komitmen untuk melakukan tanggung jawab sosial bukan semata-mata untuk investasi sebuah organisasi, namun sudah merasuk pada nafas kehidupan dan keberlanjutan organisasi. Untuk itu setidaknya terwujud setiap keputusan penting dan operasi organisasi, sehingga menjadi bagian dari setiap jenjang dalam organisasi. Pada akhirnya wacana tanggung jawab sosial akan menjadi pemikat bagi semua pihak untuk mewujudkanya secara konkrit dalam tindakan nyata.

Rekomendasi CSR
Dalam rangka menciptakan Good CSR harus memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability dan responsibility secara harmonis. Ditambah dengan harus menggabungkan kepentingan shareholders dan stakeholders. Karenanya, CSR tidak hanya fokus pada hasil yang ingin dicapai. Melainkan pula pada proses untuk mencapai hasil tersebut. Lima langkah di bawah ini bisa dijadikan panduan dalam merumuskan program CSR:

  1. Engagement. Pendekatan awal kepada masyarakat agar terjalin komunikasi dan relasi yang baik. Tahap ini juga bisa berupa sosialisasi mengenai rencana pengembangan program CSR. Tujuan utama langkah ini adalah terbangunnya pemahaman, penerimaan dan trust masyarakat yang akan dijadikan sasaran CSR. Modal sosial bisa dijadikan dasar untuk membangun ”kontrak sosial” antara masyarakat dengan perusahaan dan pihak-pihak yang terlibat.
  2. Assessment. Identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat yang akan dijadikan dasar dalam merumuskan program. Tahapan ini bisa dilakukan bukan hanya berdasarkan needs-based approach (aspirasi masyarakat), melainkan pula berpijak pada rights-based approach (konvensi internasional atau standar normatif hak-hak sosial masyarakat).
  3. Plan of action. Merumuskan rencana aksi. Program yang akan diterapkan sebaiknya memerhatikan aspirasi masyarakat (stakeholders) di satu pihak dan misi perusahaan termasuk shareholders di lain pihak.
  4. Action and Facilitation. Menerapkan program yang telah disepakati bersama. Program bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat atau organisasi lokal. Namun, bisa pula difasilitasi oleh LSM dan pihak perusahaan. Monitoring, supervisi dan pendampingan merupakan kunci keberhasilan implementasi program.
  5. Evaluation and Termination or Reformation. Menilai sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program CSR di lapangan. Bila berdasarkan evaluasi, program akan diakhiri (termination) maka perlu adanya semacam pengakhiran kontrak dan exit strategy antara pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, melaksanakan TOT CSR melalui capacity building terhadap masyarakat (stakeholders) yang akan melanjutkan program CSR secara mandiri. Bila ternyata program CSR akan dilanjutkan (reformation), maka perlu dirumuskan lessons learned bagi pengembangan program CSR berikutnya. Kesepakatan baru bisa dirumuskan sepanjang diperlukan.

Dalam prakteknya, upaya CSR dapat ditelaah dan dilakukan dengan mengacu pada tiga sisi yaitu (Kartasasmita, 1996):

  1. Enabling. Adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
  2. Empowering. Adalah memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
  3. Protecting. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Ketiga kerangka pemikiran tersebut harus ditambah dengan konsep sustainability dan integrated development. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, salah satu aspek mendasar dari CSR adalah sustainability atau berkelanjutan. Dimana setiap program dan kegiatan CSR tidak hanya dilaksanakan untuk jangka waktu pendek. Melainkan dapat diterapkan dalam kurun waktu tertentu dengan membuat serangkaian kegiatan, dengan memperhatikan faktor-faktor lain seperti lingkungan, sosial, religi. Sebagai contoh setelah masyarakat mendapatkan bantuan modal usaha, perusahaan membuat pelatihan dan pengusaha kecil dan mikro ini juga diajarkan cara untuk menjaga kelestarian lingkungan. Setelah usaha cukup maju masyarakat juga diajarkan bagaimana caranya untuk mengembangkan usaha tersebut, sehingga sumber daya lokal dapat terserap. Dengan pola pembangunan yang berkelanjutan dan terintegrasi diharapkan dapat memberikan alternatif terobosan baru untuk memberdayakan masyarakat dalam mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan yang semakin kompleks dan rumit dalam dekade terakhir.

CSR Dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat
Perkembangan perkebunan sawit di Provinsi Riau berkembang sangat cepat. Hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan dunia atas produk turunan yang berasal dari Crude Palm Oil (CPO) yang berdampak pada terjadinya alih fungsi lahan dalam jumlah yang besar. Sejalan dengan itu, masyarakat local kurang siap dengan perkembangan yang ada sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan dan konflik sosial. Konflik sosial yang timbul dapat bersumber dari berbagai sebab, antara lain: (1) alih hak katas tanah yang kurang didukung oleh klarifikasi pembebasan lahan dan hak hukum atas lahan baik antara masyarakat sendiri maupun dengan pihak perusahaan perkebunan besar dan pemerintah, (2) alih fungsi lahan yang kurang disertai kejelasan atas ha katas tanah, (3) kesenjangan akses ekonomi antara masyarakat local dengan pendatang serta dengan perusahaan perkebunan.
Untuk mengatarasi berbagai konflik yang ada, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat local melalui program CSR. Pemberdayaan masyarakat local dan jaminan hak-hak masyarakat adat disekitar daerah operasional perusahaan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan perintah Undang-undang. Idealnya, tanpa adanya protes dan kewajiban kontrak, perusahaan seharusnya memberdayakan masyarakat local dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dalam pandangan (Leisinger, 2007) inilah yang disebut level kedua dari implementasi CSR yaitu do the right thing, dimana perusahaan tak hanya meminimalisir dampak negative dari kegiatan operasionalnya berdasar aturan yang ada (legality), tapi juga sudah menaruh perhatian pada pemenihan hak-hak sosial masyarakat yang patut secara politik dan ekonomi. Perusahaan pun sudah semakin meningkatkan kegiatan derma (philanthropy) mereka. Program CSR dalam bentuk pemberdayaan sebaiknya didasarkan pada kebutuhan riil (real-needs) yang secara dialogis dikomunikasikan dengan masyarakat, pemerintah, perusahaan, masyarakat/ LSM dan akademisi/ peneliti. Selain itu prinsip yang penting dalam pemberdayaan adalah menghargai local (valuing the local), pengetahuan local, nilai0nilai, keyakinan, keterampilan, proses dan sumber daya suatu masyarakat. Mengadopsi kearifan local yang ada dengan membiarkan masyarakat mengelola lahannya sesuai dengan cara mereka selama ini dan memberikan akses yang sebesar-besarnya terhadap sumber-sumber produksi rakyat seperti air, tanah, lahan pertanian, modal, teknologi, jalur distribusi dan infrakstruktur pendukung lainnya merupakan sesuatu yang jauh lebih penting dan bermanfaat langsung bagi masyarakat local.

Pemberdayaan masyarakat yang efektif membuat masyarakat menjadi berdaya, dinamis, dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya, lebih mampu akses teknologi tepat guna, luas wawasan, kosmopolit, dan empati terhadap pihak luar. Bila CSR dilaksanakan secara konsekuen, CSR memberikan manfaat yang sangat besar, khususnya bagi masyarakat yang selama ini cenderung dirugikan oleh keberadaan perusahaan di lingkungannya.

MOTIVASI PERUSAHAAN MELAKUKAN CSR 

Apa sebenarnya motivasi perusahaan melakukan CSR? Perilaku perusahaan terhadap CSR dapat dihubungkan dengan beberapa teori motivasi, yakni motivasi intrinsik (normatif) dan ekstrinsik (instrumental). Motivasi intrinsik mendorong seseorang/perusahaan membahagiakan orang lain karena  kepuasan dan kebahagiaan bagi diri sendiri. Jadi, ada suatu ikatan emosi untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan orang lain. Dalam konteks perusahaan, “orang lain” adalah para pemangku kepentingan.

Jadi, menurut teori intrinsik, motivasi melakukan CSR adalah dorongan memenuhi norma-norma sosial dan kewajiban moral perusahan terhadap para pemangku kepentingan, tanpa memerhatikan imbalan yang akan diterima perusahaan. Oleh Minoja dan Zollo (2010), motivasi ini sebaiknya menjadi tujuan yang harus dicapai perusahaan dalam melakukan CSR. CSR yang dilakukan berdasarkan motivasi instrumental (ekstrinsik), menurut Waddock & Graves (1997) dan Orlitsky et al (2003) dapat meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko, meningkatkan reputasi, serta meningkatkan komitmen karyawan dan produktivitas. Pada akhirnya, CSR bermotivasi ekstrinsik ini dapat meningkatkan harga saham perusahaan. Jadi, CSR digunakan sebagai instrumen untuk mendapat imbalan berupa keunggulan bisnis perusahaan.

Menurut Minoja, terdapat dua pendekatan dalam motivasi instrumental, proaktif dan defensif. CSR dengan motivasi instrumental proaktif merupakan strategi mencapai keunggulan kompetitif, sedangkan pencitraan merupakan motivasi instrumental defensif.

Tindakan Pencegahan

Jika motivasi perusahaan adalah pencitraan, CSR dilakukan sebagai strategi. Namun, dampaknya bersifat jangka pendek, bahkan bisa menjadi bumerang. Misalnya, kegiatan filantropi karena permintaan masyarakat, akan membuat perusahaan diperlakukan sebagai automated teller machine (ATM). Jika CSR dilakukan karena tuntutan masyarakat alias karena perusahaan defensif atau reaktif, masyarakat akan kembali menuntut perusahaan dengan alasan berbeda.

Yang benar adalah CSR dengan motivasi instrumental proaktif, sebagai tindakan pencegahan sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi, kadang perusahaan juga perlu melakukan CSR reaktif. Misalnya, jika ada demonstrasi dari masyakarat karena provokasi. Dalam kasus ini, CSR perlu dilakukan kepada pihak-pihak yang diprovokasi agar mereka tidak mudah terbujuk, bahkan melindungi perusahaan. Jadi, CSR reaktif kadang diperlukan guna menghindari interupsi bisnis dan risiko negatif. CSR juga perlu didesain saat perusahaan akan membuka investasi baru seperti membangun pabrik atau melakukan eksplorasi. Jadi, ada tiga alasan mendesain CSR: proaktif, reaktif, dan investasi baru. Masing-masing alasan ini butuh tools (alat) berbeda.

CSR proaktif dilakukan dengan menjalankan due diligence dalam konteks ISO 26000. Due diligence menurut ISO 26000 dilakukan dengan mengidentifikasi komprehensif dampak negatif keputusan dan kegiatan perusahaan yang dapat memengaruhi lingkungan hidup, ekonomi, dan aspek sosial. Namun, penting mengidentifikasi dampak positif agar perusahaan tahu dampak positif apa yang perlu ditingkatkan dan dampak negatif apa yang harus dikurangi atau dihilangkan melalui kegiatan CSR. Dampak tersebut harus diidentifikasi pada seluruh aspek rantai nilai yang mencakup pemasok, input, proses, produk, dan konsumen. Yang dimaksud dengan input adalah bahan baku, tenaga kerja, uang, waktu, pengetahuan, dan kompetensi. Proses mencakup seluruh fungsi manajemen, termasuk kondisi fisik pabrik maupun kantor, sedangkan produk dapat berupa barang dan jasa.

CSR reaktif dapat dilakukan khusus kepada para pemangku kepentingan yang mempunyai ketiga karakteristik ini: kekuasaan/kekuatan, legitimasi, dan urgensi. Pemangku kepentingan yang mempunyai kekuasaan/kekuatan dapat terdiri dari pemda, serikat pekerja, asosiasi masyarakat adat, atau lembaga swadaya masyarakat seperti Greenpeace. Pemangku kepentingan berlegitimasi adalah mereka yang mempunyai kekuatan hukum atau yang dapat menuntut perusahaan secara hukum: pembuat kebijakan, serikat buruh. Urgensi adalah mereka yang jika tidak ditanggapi, dapat seketika merugikan perusahaan, misalnya membakar pabrik atau mogok.

Jadi, perusahaan harus khusus mendesain program CSR yang sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan yang memiliki semua karakteristik tersebut. Jika pemangku kepentingan hanya mempunyai satu karakteristik atau dua karakteristik (contoh: legitimasi dan urgensi), bukan merupakan target CSR perusahaan.

Pemetaan Sosial

Jika perusahaan ingin berinvestasi di tempat baru, perusahaan perlu melakukan pemetaan sosial dalam arti luas (comprehensive social mapping). Cakupan dalam pemetaan ini antara lain kondisi sosial, isu/persoalan yang sedang dialami masyarakat, para pemangku kepentingan utama (priority relevant stakeholders), isu yang beredar, dan kebutuhan masyarakat (social, issues, stakeholder and needs mapping). Jadi, pemetaan yang  luas cakupannya, yakni demografi, geografi, pemangku kepentingan relevan: tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh preman; isu yang beredar, potensi daerah: alam, modal sosial, budaya; dan kebutuhan masyarakat: air bersih, irigasi, pendidikan kesehatan. Khususnya mengenai pemetaan kebutuhan, sebaiknya perusahaan tidak hanya mengandalkan hasil FGD (focus group discussion). Ini karena dalam FGD kadang yang diperoleh adalah daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan masyarakat. Hal ini karena FGD yang efektif sebenarnya harus memenuhi persyaratan minimal: kesetaraan posisi dan pendidikan. Jika ada anggota masyarakat yang diundang dalam FGD yang tidak punya pendidikan formal meski dia adalah tetua, akan malu berbicara jika dalam FGD ada peserta yang merupakan penduduk desa dengan pendidikan sarjana. Jika dalam FGD terdapat Pak Lurah, masyarakat takut berbicara hal-hal yang berhubungan dengan pemerintah, misal tentang korupsi atau fasilitas masyarakat, seperti sampah yang tidak dibersihkan, tidak adanya posyandu, puskesmas, air bersih, atau irigasi. Maka pendekatan pemetaan isu dan kebutuhan masyarakat sebaiknya melalui difusi ke pemangku kepentingan (stakeholder diffusion) seperti etnografi. Dalam stakeholder diffusion, para peneliti harus tinggal bersama masyarakat selama beberapa minggu, mengikuti gaya hidup mereka. Tujuannya membangun kepercayaan, sehingga masyarakat tidak sungkan dan tidak merasa terancam dalam menyampaikan keluhan maupun kebutuhan mereka.

Dengan menggunakan tools yang tepat perusahaan akan mendapat gambaran lengkap, sehingga dapat mendesain program CSR yang menciptakan dampak tepat sasaran kepada pihak yang tepat serta dapat terukur dampaknya. CSR menjadi keputusan dan tindakan strategis perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif dengan tujuan normatif, yakni memenuhi kewajiban moral dan norma-norma sosial.

3 pemikiran pada “Corporate Social Responsibility (CSR)

Tinggalkan komentar